Kamis, 15 November 2012

UU No.23/2006 dan Diskriminasi

Mengutip salah-satu artikel Kompas, Sabtu 10 November 2012 di halaman 12, saya tersadar oleh tulisan disebuah kolom Keyakinan.  Dalam artikel tersebut diceritakan bahwa telah terjadi diskriminasi dalam hal
status pencatatan kewarganegaraan yang dialami oleh para umat penghayat aliran kepercayaan dan masyarakat adat yang lain.  Hak-hak konstitusional perempuan adat penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan tidak dipenuhi oleh negara.  Contoh, mereka sulit memperoleh KTP dan mencantumkan Kepercayaan yang diyakini pada kolom agama.  Mengutip dari artikel Kompas tersebut; "Implikasinya sulit mendapat akses layanan pendidikan dan kesehatan dari pemerintah.  Bahkan perempuan dan anak-anak kerap mengalami stigma hanya karena tidak menganut agama "resmi.   Banyak yang sembunyi dari identitas diri aslinya dengan terpaksa memilih salah satu agama.  Mereka tak berani dan takut kena masalah apabila isian agama di KTP kosong atau diisi dengan nama kepercayaanya. Seperti yang dituturkan Dian Jennie dari Sapta Dharma pada diskusi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).  Akibat tak punya KTP, para perempuan penghayat kepercayaan tak mendapat surat nikah, akta kelahiran anak dan kesulitan mengkases layanan kesehatan dan bantuan sosial lainnya dari pemerintah.  Parahnya lagi, mereka juga tak dapat menikmati hak menjalankan keyakinannya, mendirikan rumah ibadah dan memastikan agama leluhur bagi anak-anaknya di sekolah.

Perhatian Komnas Perempuan terhadap hak para perempuan Adat dan pemeluk aliran kepercayaan sangat beralasan dan patut didukung oleh semua pihak yang memandang "Keragaman" sebagai aset bangsa yang harus selalu dijaga dan diperjuangkan.  Sama halnya yang telah disuarakan oleh Aliansi nasional bhineka Tunggal Ika (ANBTI) yang menyatakan bahwa ruang gerak agama-agama lokal dan masyaarakat penghayat kepercayaan justru kian terbatas pada era reformasi. Seperti yang telah disampaikan oleh Nia Sjarifudin (sekjen ANBTI), yang mengharapkan pemerintah tidak hanya mengakui ritual budaya adat tertentu, tetapi lebih pada bagian spiritualnya.  Itu lebih penting.  Harus ada kemauan politik dari pemerintah untuk melakukan revisi dan uji materiil terhadap Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan agama.  Serta UU no.23/2006 tentang administrasi Kependudukan.  Anggota penghayat bahkan dipaksa menyatakan diri menjadi bagian dari salah satu agama "resmi" agar bisa memperoleh KTP.  Kemudian pada salah satu pasal di UU tersebut disebutkan bahwa pemeluk aliran kepercayaan, keterangan pada kolom agama tidak diisi.

Saya sendiri sebagai orang awam, merasa gerah dan bercampur geli melihat dangkalnya uji materi rancangan Undang-undang sebelum bisa disahkan menjadi Undang-Undang.  Di Indonesia ini terdapat banyak sekali Masyarakat adat dan Kepercayaan Spiritual, dan telah menjadi "Agama" leluhur dan nenek moyang kita.  Tidak sepantasnya "Agama" leluhur. Agama Aslinya Bangsa ini terasa asing Bahkan dianggap "Kafir" oleh Anak Cucunya sendiri...


Referensi :

Kompas (LUK)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar