Jumat, 07 Desember 2012

Konflik, Kekerasan dan Agama



Akhir-akhir ini terjadi berbagai macam konflik yang mengusik semangat kebhinekaan bangsa ini.  Konflik Sampang Madura, Konflik Lampung dan yang belum lama terjadi yaitu kerusuhan pembubaran Jemaat Ahmadiyah.  Permasalahan yang menyangkut SARA khususnya mengenai "AGAMA" seringkali disimpan untuk tidak terlalu dipublikasikan.  Ini adalah masalah realita di mana berbagai kasus kerusuhan yang ber-isu agama selalu dianggap tabu untuk dipublikasikan.  Adalah sebuah  kesalahan apabila ada usaha untuk selalu menutupi permasalahan yang berhubungan dengan "Sesuatu" yang dianggap sensitif.  Publik dipaksa tidur di tengah-tengah perang emosi "Mayoritas dan Minoritas".  Memprihatinkan bukan?
Oleh sebab itu telaah secara mendalam melalui kacamata budaya dan kebijakan masyarakat setempat adalah lebih tepat untuk menyikapi berbagai macam konflik yang terjadi.  Dalam kesempatan ini kami mencoba memberikan beberapa kaidah kehidupan “asli” Indonesia.  Dalam diskursus Jawa, dikenal slogan "Urip Rukun Agawe Santoso - Congkrah Agawe Bubrah" dalam bahasa Indonesianya : Hidup Rukun membawa kemakmuran - Saling bermusuhan membawa Perepecahan.  Dari semboyan ini, istilah "Rukun" benar-benar dimaknai secara serius oleh masyarakat Jawa.  Seorang anthropolog Hildred Geertz menemukan hal yang menarik dalam  pola pergaulan masyarakat Jawa.  Kaidah pertama mengatakan bahwa dalam berbagai kondisi, manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik.  Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya.  Dua kaidah tersebut di atas telah berkembang menjadi prinsip hidup rukun orang Jawa (Prinsip kerukunan).  
Kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis yaitu kehidupan "berada dalam keadaan selaras", "tenang dan tentram", "tanpa perselisihan dan pertentangan","bersatu dalam maksud untuk saling membantu".  Bagaimanakah konflik-konflik ini dapat terjadi?  Menurut Selosoemardjan awal terjadinya konflik adalah ketika kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan bertabrakan.   Agar terjamin kerukunan  menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan, bahkan kalau perlu untuk melepaskan kepentingan-kepentingannya pribadi demi kesepakatan bersama.

Dari uraian tersebut di atas, dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan keharusan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi, kepentingan bersama atau ego masing-masing.  Memaknai budaya "Ngalah" yang bukan berarti kalah dan memelihara keharmonisan untuk mencegah konflik yang terjadi adalah sebagai "Latihan" atau "Lelaku batin" yang harus dilalui tiap orang agar dapat hidup dengan budi pekerti yang baik dan mencapai apa yang dicita-citakan.  Terlebih di tengah-tengah derasnya arus modernisasi yang menggerus akar atau kaidah perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Kami mencoba untuk melihat konflik-konflik ini lepas dari kaidah-kaidah agama yang mungkin timbul dan menjadi penyebab munculnya konflik ini karena tentu saja dapat menimbulkan tafsir yang berbeda.  Namun peran negara-lah  menyangkut masalah jaminan supremasi hukum. Kita coba untuk mencermati beberapa kasus konflik seperti; Pembubaran Jama’ah Ahmadiyah.  Ahmadiyah telah ada dan berkembang sejak lama, tetapi mengapa permasalahan baru timbul sekarang?  Kemudian konflik antara komunitas Muslim dan Hindu di Lampung, komunitas ini telah ada dan hidup bersama sejak lama dan dalam sejarah tercatat jarang sekali terjadi permaslahan dalam skala kerusuhan besar seperti yang terjadi akhir-akhir ini.  Mari kita bersama-sama mengkritisi bagaimana peran negara sehingga kasus-kasus konflik vertikal ini terjadi.
Perkembangan situasi yang mengerucut menjadi pertentangan antar keyakinan bisa diakibatkan oleh meningkatnya tingkat resistensi golongan garis keras dan bukannya tambah mereda, justru dari waktu  ke waktu semakin bertambah intensitas resistensi yang ditunjukkan secara terang-terangan. Dari segi jumlah, kelompok-kelompok radikal semakin menjamur. Mereka muncul dengan manifestasi kelompok masa dan bermitra dengan aparat. Seolah air bersambut gayung, pemerintah melalui instrumen hukumnya seolah tidak berdaya untuk berperan sebagai regulator. Lobi politik dan uang menjadi banyak berbicara. Mungkin pernah kita dengar, suatu kelompok "razor gank" pernah bisa berperan secara strategis, menjadi mitra aparat. Dan masih banyak lagi yang sering kita dengar mengenai kedekatan beberapa organisasi kemasyarakatan atau agama terhadap kekuasaan politik.
Di Indonesia diakui bahwa agama memiliki peranan membawa perkembangan dan membantu proses pembentukan karakter bangsa. Kekayaan ajaran spiritual negeri ini akan membawa masyarakat Indonesia yang berbudi luhur dan hidup dengan rukun. Namun seperti yang telah penulis sebutkan di awal, bahwa kekerasan dengan dalih agama menjadi sering kita dengar baik yang ter-ekspos maupun tidak. Di bidang politik, agama menjadi faktor yang luar biasa berpengaruh dalam hal perolehan legitimasi dari pendukungnya. Dan sangat disayangkan kondisi ini telah terpelihara sekian lama dan telah diterapkan sebagai sistem baku. Sebagai contohnya adalah dengan dicantumkannya kolom agama di kartu tanda penduduk dalam sistem administrasi kependudukan. Terbukti bahwa hal ini hanya menimbulkan ekses yang kurang mengenakkan bagi golongan-golongan atau agama minoritas tertentu.  Terutama terhadap masyarakat adat yang memeluk suatu aliran kepercayaan di luar 6 agama yang diakui pemerintah.  Beberapa masyarakat adat atau pemeluk aliran kepercayaan mendapat diskriminasi dalam  hal pengurusan dokumen kependudukan, persyaratan pekerjaan bahkan yang patut disayangkan adalah adanya keharusan bagi pemeluk aliran kepercayaan bahwa untuk memiliki KTP, diharuskan memilih salah-satu dari 6 agama yang telah diakui pemerintah untuk dituliskan di kolom agama.  Itu semua dapat diartikan sebagai pemaksaan dan bertentangan dengan UUD 1945 yang berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama atau kepercayaan yang diyakininya.

Peran agama seperti yang ada dalam ajarannya diantaranya saling mengasihi antar manusia, cinta kasih, kerukunan dan ajaran mulia lain yang menuntun umat manusia yang memeluknya untuk selalu mengutamakan kebaikan dan memiliki budi pekerti yang luhur. Namun itu adalah tataran idealnya. Seolah terbuai oleh tatanan yang semu, bangsa ini seharusnya menyadari adanya disparitas yang sangat dalam antara peran agama "yang seharusnya" dengan "faktual". Antara ajaran dan praktik kehidupan. Tragis sekali ketika sudah tertanam perasaan ketidaknyamanan apabila hidup atau berdekatan dengan orang yang berbeda. Harus ada sarana yang menjembatani perbedaan itu. Sarana yang dapat menjamin terlaksananya ajaran agama di kehidupan masing-masing pemeluknya, sehingga agama bukan hanya sebagai legitimasi tindak kekerasan atau politik kekuasaan semata. Sarana yang mampu membimbing manusia mau mendalami dan mengerti secara sungguh-sungguh ajaran agama yang yelah diyakininya. Cobalah untuk sedikit memperhatikan kekayaan asli bangsa ini. Indonesia kaya akan budaya, kaya akan ajaran-ajaran spiritual yang "original". Ajaran-ajaran ini telah membawa nenek moyang kita dalam kejayaan peradaban. Ingatlah berbagai peninggalan yang luar biasa megah seperti Candi Borobudur dan situs-situs lain yang tersebar di seluruh nusantara sebagai bukti bahwa bangsa ini dengan ajaran spiritual yang dianut waktu itu mampu membawa bangsa ini ke puncak peradaban di masa itu. Kenapa seolah-olah kita tidak menyadari warisan spiritual yang ada? Ataukah kita hanya akan terpaku pada ajaran normatif yang diakui pemerintah saja? Dan membiarkan bangsa ini mengalami kemunduran dan tenggelam oleh kekerasan dan perpecahan. Menjadi perenungan kita bersama. (AJ- THF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar